Friday, August 23, 2013

Kerana Perhatian Itu

Assalamualaikum w.b.t :)

Situasi:

si 'baik hati': eiii.. aku tau la kenapa dia tu kena sayang.. sebabb dia jalan lenggang lenggok! itula sebab kenapa dia dapat markah tinggi! si 'Bos' tu suka! #malasmahuceritayangseterusnya

::kemain kebencian dia tu.. jelas terserlah.. namun sampai sekarang menjadi si talam.. oleh sebab tidak 'ketahuan', maka berjaya menuding jari pada orang lain. Tahniah! :p
_______________________________________________________________________________


Kadang-kadang,
kerana terlalu ghairah untuk nampak 'baik' di depan mata manusia,
kita lupa untuk berusaha nampak baik di mata Allah..


Manusia terus berjalan,
ada yang bongkak,
ada yang humble,
ada yang tawadduk.

Tetapi,
kadang-kadang manusia tak sedar ataupun terlupa,
untuk menoleh ke belakang,
ataupun berhenti seketika,
berhenti untuk mengamati jalan yang dilaluinya,
adakah ianya jalan yang lurus,
ataupun sudah tersasar daripada landasannya..

Berhenti bukan bererti menyerah,
berhenti untuk bermuhasabah.

Bermuhasabah diri,
mencari di mana lompongnya iman,
mencari di mana diletakkan islam selama ini,
mencari sinar taubat yang masih bercahaya,
buat penyuluh hati yang gelap dan kelam. 

Begitu juga dengan diam.

Kadang-kadang,
kita juga perlu berdiam.

Diam hanya apabila dituntut,
Diam daripada bicara yang membuahkan dosa.

Sekiranya sesuatu hakikat itu kita tidak ketahui,
maka diam itu lebih baik,
bagi mengelakkan terhasilnya cerita-cerita dongeng,
daripada mulut bacul kita. 

Diam juga bukan bermakna benci,
Tapi diam daripada terus menyakiti,
Dalam diam, doa tetap dipanjat,
Dalam diam, hati terus mengharap.

Agar hati-hati itu bertaut kembali, 

Untuk bersama-sama menebarkan CintaNya..



nota coklet : CARA BERPAKAIAN BUKAN UKURAN KEIMANAN SESEORANG namun bukan bermaksud halal dedahkan aurat tu

Saturday, August 3, 2013

Nilai Sebuah Kesabaran



Tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan. Maka dahulu ulama’ kita mengatakan:
“Keberanian itu, sesungguhnya hanyalah kesabaran sesaat.”
Risiko adalah pajak keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat memberi sarana seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu terus menerus. Dan itulah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya:
”Jika ada di antara kamu dua puluh orang penyabar, niscaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang. Dan jika ada di antara kamu seratus orang (penyabar), niscaya mereka akan mengalahkan seribu orang kafir.” (Al-Anfal, 8: 65)
Ada banyak pemberani yang tidak mengakhiri hidup sebagai pemberani. Kerana mereka gagal menahan beban risiko. Jadi keberanian adalah aspek ekspansif dari kepahlawanan. Tapi kesabaran adalah aspek defensifnya. Kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa kita mampu membawa beban idealisme kepahlawanan, dan sekuat apa kita mampu tegar dalam menghadapi tekanan hidup. Mereka yang memiliki sifat ini pastilah berbakat menjadi pemimpin besar.
Mari kita semak firman Allah SWT ini:
“Dan Kami jadikan di antara mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka selalu yakin dengan ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah, 32 : 24)
Demikianlah kemudian ayat-ayat kesabaran turun beruntun dalam Qur’an dan dijelaskan dengan terperinci beserta contoh aplikasinya oleh Rasulullah s.a.w., sampai-sampai Allah menempatkan kesabaran dalam posisi yang paling terhormat ketika Dia mengatakan:
“Mintalah pertolongan dengan kesabaran dan solat. Sesungguhnya urusan ini amatlah berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (Al-Baqarah, 2: 45)
Rahsianya adalah kerana kesabaran ibarat wanita yang melahirkan banyak sifat lainnya. Dari kesabaranlah lahir sifat santun. Dari kesabaran pula lahir kelembutan. Bukan hanya itu. Kemampuan menjaga rahsia juga lahir dari rahim kesabaran. Demikian pula berturut-turut lahir kesungguhan, kesinambungan dalam bekerja dan yang mungkin sangat penting adalah ketenangan.
Tapi kesabaran itu pahit. Semua kita tahu begitulah rasanya kesabaran itu. Dan begitulah suatu saat Rasulullah s.a.w. mengatakan kepada seorang wanita yang sedang menangisi kematian anaknya:
“Sesungguhnya kesabaran itu hanya pada benturan pertama.” (Bukhari dan Muslim)
Jadi, yang pahit dari kesabaran itu hanya permulaannya. Kesabaran pada benturan pertama menciptakan kekebalan pada benturan selanjutnya. “Mereka memanahku bertubi-tubi, sampai-sampai panah itu hanya menembus panah,” lantunan penyair Arab tersohor sepanjang sejarah, Al-Mutanabbi.
Mereka yang memiliki naluri kepahlawan dan keberanian, harus mengambil saham terbesar dari kesabaran. Mereka harus sabar dalam segala hal; dalam ketaatan, meninggalkan maksiat atau menghadapi cubaan. Dan dengan kesabaran tertinggi, “sampai akhirnya kesabaran itu sendiri yang gagal mengejar kesabarannya,” kata Ibnul Qayyim.
Wallahu’alam.

Jiwa yang stabil

Assalamualaikum dan salam Ramadhan :)


“Sungguh hati ini berduka dan air mataku mengalir kerana kepergianmu. Akan tetapi aku tidak akan mengucapkan selain apa yang Allah redhai.”

Itulah kalimat-kalimat yang terbit dari lisan Rasulullah s.a.w. saat Ibrahim, puteranya, meninggal dunia.

Di lain kesempatan, Rasulullah s.a.w. melihat seorang ibu yang sedang meraung-raung menangisi kematian anaknya. Rasulullah s.a.w. menasihatinya, “Bersabarlah dan carilah redha Allah.” Dengan nada marah – kerana tidak menyadari bahwa yang memberinya nasihat adalah Rasulullah s.a.w. – si wanita itu menyahut, “Engkau tidak merasakan apa yang aku rasakan.” Setelah sadar siapa sesungguhnya orang yang menasihatinya itu, segera ia menghampiri Rasulullah s.a.w. seraya mengatakan, “Saya tadi tidak tahu bahwa yang menasihati saya itu adalah engkau.” Jawaban Rasulullah s.a.w. adalah, “Sabar itu justeru pada benturan pertama.”
Apa yang diteladankan oleh Rasulullah s.a.w. itu adalah gambaran jiwa yang stabil: sabar, penuh perhitungan, pengendalian penuh terhadap emosi. Dan dalam nasihatnya kepada ibu yang kehilangan anaknya itu baginda menjelaskan bahwa kesabaran yang sebenarnya adalah kemampuan mengendalikan perasaan, emosi sejak saat-saat pertama terjadi ujian itu.
Antara kita dan permasalahan ada ruang yang bebas kita isi. Ruang itu bernama hati. Jika hati dibiarkan kosong, atau diisi dengan nilai-nilai yang busuk seperti iri, dengki, cinta dunia, persaingan tidak sihat, kesyirikan, maka tindakbalas terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul adalah kegelisahan, kecemasan, bahkan kekecewaan. Inilah orang-orang yang jiwanya labil.
Sebaliknya, manakala ruang hati itu diisi dengan iman, maka tindakbalas terhadap warna-warna cabaran hidup, apa pun bentuknya, selalu positif. Inilah ciri orang yang jiwanya stabil. Allah SWT menggambarkan orang seperti itu dengan firman-Nya:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am, 6:82)
Orang yang beriman selalu mengembalikan segala persoalan yang dihadapinya dalam hidup ini kepada Allah SWT:
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan; “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada Allah jualah kami kembali).” (Al-Baqarah, 2:155-156)
Itulah orang-orang mukmin sejati. Diri dan kehidupannya tidak akan dikuasai atau dikendalikan oleh emosi, stres dan depresi. Tidak ada rasa takut yang menghantuinya. Firman Allah SWT:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada akan merasa khawatir dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus, 10:62-63)
Bahkan hati mereka selalu dipenuhi ketenteraman dan kedamaian.
“Ingatlah bahwa dengan zikir kepada Allah hati-hati menjadi tenang.” (Ar-Ra’du, 13:28)
Mengulas ayat di atas, Sayyid Qutub mengatakan, “Hati-hati mereka menjadi tenang sebab merasakan adanya hubungan dengan Allah, nyaman berada di dekat-Nya, merasa aman dalam lindungan-Nya. Ia merasa tenteram kerana jauh dari kegalauan akibat menyendiri dan dari kebingungan perjalanan. Dengan iman mereka mengetahui hikmah dari penciptaan, permulaan, dan akhir kehidupan ini. Mereka merasa tenteram kerana merasakan adanya perlindungan dari segala yang akan menyakitinya dan dari segala bahaya. Semua itu hanya akan terjadi manakala Allah memperkenankan. Dan apabila ujian itu tiba ia menerimanya dengan penuh rasa redha dan sabar. Ia merasa tenteram kerana mendapat rahmat-Nya berupa hidayah, rezeki, dan perlindungan-Nya di dunia dan akhirat. Ketenteraman -akibat mengingat Allah- yang ada pada hati orang-orang beriman itu merupakan hakikat yang dalam yang hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang hatinya yang secara langsung berinteraksi dengan iman, hingga terhubung kepada Allah, mereka dapat merasakannya. Namun mereka tidak dapat melukiskannya dengan kata-kata kepada orang lain yang tidak merasakannya. Sebab perasaan tenang itu tidak dapat ditafsir dengan kata-kata. Ia mengalir dalam hati dan kemudian menyebabkan hati itu merasa nyaman, damai, dan tenteram. Ia merasa bahwa di alam semesta ini ia tidaklah menyendiri tanpa teman. Sebab segala yang ada di sekitarnya adalah teman. Sebab mereka semua adalah karya Allah SWT.”
Beliau melanjutkan, “Tidak ada orang yang lebih celaka di muka bumi ini selain dari orang yang tidak memiliki ketenteraman jiwa dalam kedekatan dengan Allah. Tidak ada orang yang lebih celaka dari orang yang terputus hubungannya dengan alam sekitar akibat ia memutuskan hubungan dengan Pencipta alam itu. Tidak ada yang lebih celaka dari orang yang hidup tanpa tahu mengapa ia ada? Kemana harus ia pergi? Mengapa ia mengalami segala yang ia rasakan dalam hidup ini! Tidak ada yang lebih celaka dari orang yang berjalan di muka bumi dalam keadaan serba takut oleh segala sesuatu akibat tidak adanya hubungan antara dirinya dengan segala sesuatu yang ada di alam ini. Tidak ada yang lebih celaka di dalam kehidupan ini selain dari orang yang menempuh jalan sendirian terlunta-lunta di padang yang luas. Ia harus berjuang sendirian tanpa penolong, tanpa penuntun, dan tanpa pembantu.”
Bagaimanapun ada saat-saat dalam kehidupan ini di mana seseorang tidak mungkin bertahan kecuali jika ia bersandar kepada Allah dan merasa tenteram dengan perlindungan-Nya, betapapun ia memiliki kekuatan, keteguhan, dan kekukuhan. Dalam kehidupan ini ada saat-saat di mana segala kekuatan itu tidak punya makna sama sekali. Lalu tidak ada yang mampu bertahan selain orang yang merasa tenteram dengan Allah SWT. ”Ingatlah bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
Orang yang beriman selalu melibatkan Allah SWT dalam menghadapi segala permasalahan. Jadi antara dirinya dengan permasalahan, sebesar apa pun, ada Allah yang Maha Besar dan mampu menyelesaikan segala persoalan. Kerananya, orang yang beriman selalu berpikir positif, berbicara positif dan bertindak positif. Rasulullah s.a.w bersabda:
“Sungguh mengagumkan urusan orang beriman itu. Sesungguhnya segala urusannya baginya menjadi kebaikan. Jika ia menerima karunia (hal-hal yang menggembirakan) ia bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia mendapatkan musibah ia bersabar. Dan hal itu menjadi kebaikan bagi dirinya.” (Riwayat Al-Bukhari)
Bila dalam ayat-ayat dan hadits di atas dijelaskan bahwa keimanan yang hakiki akan melahirkan ketenteraman maka sebaliknya, kegelisahan, keresahan, depresi, stres, atau kecewa menandakan adanya cacat atau kekurangan dalam keimanan. Cacat-cacat inilah yang menyebabkan hati tidak mampu bertindakbalas dengan rangsangan-rangsangan secara positif. Oleh kerana itu, setelah menegaskan bahwa manusia memiliki sifat dasar berkeluh-kesah, Allah SWT memaparkan sikap dan perilaku yang mampu menekan kelemahan jiwa agar menjadi stabil dan mampu bersikap seadanya. Firman-Nya;
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan solat. Yang mereka itu tetap mengerjakan solatnya. Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bahagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mahu meminta). Dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan. Dan orang-orang yang takut terhadap azab Rabb-nya. Kerana sesungguhnya azab Rabb mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara solatnya.” (Al-Ma’arij, 70:19-34)
Di sinilah erti penting dari proses tazkiyatunnafs (pensucian jiwa) yang berkesinambungan. Kestabilan jiwa seseorang bukanlah ditandai dengan kehidupan yang datar seperti tidak ada gejolak perasaan atau sekadar kekecewaan. Bukan itu. Kestabilan jiwa seseorang diukur oleh kemampuan mengelola jiwa dalam bertindakbalas terhadap persoalan-persoalan kehidupan. Sehingga kehidupannya terselia oleh sabar, tawakkal, dan syukur dan bukannya oleh hasrat-hasrat liar. Dalam hal ini Allah SWT menegaskan:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (Ash-Shams, 91: 7-9)
Orang yang jiwanya stabil dengan iman dan selalu disucikan dengan amal ibadah akan menjadi pemenang dalam kehidupan dunia dan meraih kejayaan hakiki di akhirat: mendapat redha dan syurga-Nya:
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diredhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam syurga-Ku.” (Al-Fajr, 89:27-30)
Wallahu a’lam.

nota coklet: sedih, Ramadhan semakin meninggalkan kita :(

 

Copyright © 2011 Reserved to Bukan Cerita Tentang Coklat Design with love by CikBulat